OLEH: YANTO BUDIMAN SITUMEANG : Pertumbuhan Ekonomi Riau Yang Lamban

OLEH: YANTO BUDIMAN SITUMEANG : Pertumbuhan Ekonomi Riau Yang Lamban

Pekanbaru, Homeriau.com - Rendahnya daya serap APBD Riau beberapa tahun ini boleh jadi salah satu faktor penyebab anjlok nya pertumbuhan ekonomi kita. Itu belum lagi factor lain yang terkait, baik langsung maupun tidak langsung. Masyarakat tidak merasakan efek menetes (trickle down efect).

Mari kita tengok kebelakang. Data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I tahun 2017 yang dilansir BPS patut dinanti oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan perasaan berdebar-debar. Untuk data 34 provinsi  data statistik itulah yang dipandang paling sah dalam memotret gerak laju pembangunan dan pertumbuhan di negeri ini. Tentu saja, ada daerah yang meraih angka pertumbuhan tertinggi yakni Provinsi Kalimantan Tengah dengan angka 9,49 persen dan angka terendah dikantongi Provinsi NTB -4,18 persen.

Lantas, di mana posisi Provinsi Riau? Ternyata Riau menempati posisi ketiga terbawah yakni angka 2,82 persen atau urutan ke-32. Hanya terpaut satu tingkat di atas Provinsi Kepulauan Riau. Posisi Riau dengan angka pertumbuhan ekonomi yang sangat lambat ini sangat memiriskan hati sebab dibandingkan angka pertumbuhan nasional pada periode yang sama mencapai 5,01 persen.  Soalnya kalau mau membandingkan dengan provinsi lain yang selama ini tak terlalu diunggulkan. Sebutlah Provinsi NAD dengan angka 2,87, Papua 3,36 atau Papua Barat 3,68.

Dikutip dari laman web BPS Riau, pertumbuhan ekonomi ternyata tidak mengalami perubahan pada triwulan II hanya menempel di angka 2,41 persen. Sedangkan untuk triwulan III belum nampak di laman tersebut.

Ada apa dengan Riau? Bagi para pengamat pembangunan dan masyarakat Riau sendiri yang berpandangan lebuh kritis, perolehan angka pertumbuhan yang jeblok itu tak terlalu mengejutkan. Pasalnya, kepemimpinan Arsjadjuliandi Rachman yang melanjutkan posisi Gubri yang ditinggalkan Annas Maamun setelah tersandung kasus hukum, banyak kegiatan pembangunan di Tanah Melayu Riau ini terasa lamban.

Berbagai analisis terkait sikap lamban dalam  kepemimpinan  Andi Rachman ini, terlihat nyata saat mengisi kekosongan jabatan Ketua DPRD dan Wakil Gubernur Riau. Belum lagi, daya serap anggaran sejak tahun pertama kepemimpinannya yang memang sangat rendah. Sebagaimana yang pernah dirilis Fitra Riau, pada APBD Riau 2015, penggunaan anggaran untuk kepentingan publik hanya mampu terserap sebesar 45,01% dari total Belanja Langsung yang di perkirakan tahun 2015. Selain itu jika dikilas balik dari tahun–tahun sebelumnya (2012-2014), membengkaknya Silpa setelah realisasi APBD tahun 2014 sebesar Rp. 3,9 triliun, tahun 2013 sebesar Rp. 1,4 triliun dan tahun 2012 sebesar Rp. 1,9 triliun. 

Jika diakumulasi dalam tiga tahun terakhir sebesar Rp. 7,4 triliun uang rakyat mengendap. Sangat merisaukan kita terhadap buruknya kinerja pemerintah daerah dalam mengoptimalkan tata kelola keuangan, tingginya Silpa tentu disebabkan banyaknya penggunaaan anggaran tidak terserap dalam program-program pembangunan, seperti infrastruktur publik yang di belanjakan dalam belanja modal dan barang jasa yang seharusnya bisa dinikmati masyarakat. Tak heran, bila pada waktu itu, LAM Riau sempat meminta ‘pertanggungjawaban’ Andi yang masih dalam posisi Plt. Gubri untuk menjelaskan rendahnya daya serap APBD tersebut.

Laju pertumbuhan suatu daerah dapat dianalogikan dengan sebuah kapal yang berlayar di samudera luas. Kecepatan dan arah kapal itu sangat ditentukan oleh kepiawaian seorang nakhoda. Nakhoda akan memasang strategi untuk mengkoordinasikan semua bagian penting di kapal itu agar kecepatannya dapat terjamin. Nakhoda Provinsi Riau ini tersebut ditempati oleh Andi Rachman. Sedangkan para kelasi adalah para staf dan SKPD yang ditetapkan menggunakan otoritas yang dimiliki. Koordinasi antar dinas dan lembaga tersebut sangat ditentukan oleh seorang kepala daerah atau Gubernur.

Ketika Andi Rachman semasa menjadi Wagubri mendampingi Annas Maamun, masyarakat belum bisa menilai kinerjanya. Maklumlah, posisi wakil pada rata-rata kepemimpinan di daerah selalu dijadikan ‘ban serap’ atau tidak difungsikan sebagai mitra kerja. Dengan kata lain, Andi masih bisa ‘berlindung’ di balik cara kerja Annas yang dikenal sporadis dan bergerak cepat.
Peralihan kepemimpinan Andi sebagai Gubri yang berlangsung begitu cepat  saat tertangkapnya Annas Maamun oleh penyidik KPK, memang sempat menimbulkan keraguan di mata publik. Pasalnya, gaya Andi yang cenderung tenang  meskipun sudah digodok dengan pendidikan manajemen bisnis di AS, dikhawatirkan terbawa-bawa saat menjadi orang nomor satu di Provinsi Riau. Pada mulanya, kelambanan ini bisa saja ditafsirkan sebagai sikap kehati-hatian.

Namun kemudian, publik pun dengan mudah mencium gelagat kelambanan Andi saat menetapkan orang-orang untuk dua jabatan penting dan strategis yakni Ketua DPRD dan Wakil Gubernur. Soal Ketua DPRD, Andi tampak terombang-ambing dalam politik tingkat tinggi yang dimainkan oleh para petinggi DPP Golkar. Ironis memang, saat Andi mengajukan tiga nama yakni Masnur, Erizal Muluk dan Supriati, namun akhirnya nama Septina Primawati yang diakomodir. Septina memang tak pernah diusulkan oleh Andi.

Begitu pula, posisi Wagubri yang juga kosong lebih dari satu tahun. Bermacam spekulasi sempat mencuat ke permukaan akibat Andi terlalu lama menentukan pilihan. Sejumlah nama pernah muncul ke permukaan dan digadang-gadang berada dalam bidikan Andi seperti Syamsul Rakan Chaniago dan Ansar Ahmad. Tapi, di luar dugaan banyak orang, tiba-tiba Andi mengajukan nama Wan Thamrin Hasyim, birokrat sepuh yang pernah menjadi Bupati Rohil pertama.

Boleh jadi, realitas yang terkait langsung dengan capaian angka pertumbuhan ekonomi ini yakni daya serap APBD yang rendah selama hampir dua tahun berturut-turut. Di masa kepemimpinan awal Andi, para pimpinan SKPD dan para pengusaha atau kontraktor yang melaksanakan kegiatan pembangunan konstruksi dan aktivitas lain sempat mengeluh. Pencairan dana APBD begitu lambat karena terlalu banyak pertimbangan dan ketakutan Andi yang luar biasa bila dijerat pihak KPK atau aparat hukum lainnya.

Tentu saja, angka pertumbuhan Riau yang rendah masih menyimpan banyak tanda tanya. Apabila Andi membela diri dengan menyebutkan rendahnya capaian itu juga dialami oleh provinsi-provinsi lain. Tapi kenapa ada provinsi seperti Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara atau Maluku Utara bisa meraih angka yang melampaui capaian rata-rata nasional.

Yang lebih memiriskan hati adalah tersiar nya kabar bahwa sebagian besar proyek Pembangunan baik berupa fisik maupun pengadaan barang, di coupt oleh kelompok tertentu. Sehingga uang yang beredar di masyarakat sangatlah sedikit. Itu artinya masyarakat Riau tidak merasakan efek menetes (trickle down efect).

Belum lagi isu penempatan pejabat eselon yang diduga tidak profesional dan cenderung melanggar UU Aparatur Sipil Negara (ASN). "The right man on the wrong place". Atau "The wrong man on the wrong place, sudah menjadi rahasia umum dikalangan masyarakat ataupun di arena publik.

Fenomena-fenomena ini tentu menjadi faktor yang dapat menyebabkan rendahnya daya serap anggaran yang pada akhirnya menyebabkan menurunnya economic growth atau pertumbuhan ekonomi Riau.

Kalau kondisi nya seperti ini bisa dipastikan kita akan mengalami Silpa lagi, seperti yang terjadi pada tahun 2014, 2015 dan 2016. Dari data yang diperoleh, tahun ini Silpa kita Rp 1 Triliunan. Dan APBD kita 2018 sebesar Rp 10,sekian Triliun.

Berbagai fenomena ini tentu memunculkan tanya yang secara diam-diam atau terbuka didebat dalam analisis atau pemikiran masyarakat Riau dari berbagai kalangan. Namun, sudah pasti, pihak yang begitu muda dipersalahkan adalah Gubri yang kini dipegang oleh Andi Rachman. Inilah saatnya menguji kematangan dan kemampuan Andi dalam menakhodai Provinsi Riau. Ini pula saatnya publik mempertanyakan apakah Andi masih layak diberi kepercayaan untuk dipilih pada Pilgubri 2018 nanti?.Hr/r

Editor :