Gagal Ginjal Akut, Pekerja di-PHK Tanpa Pesangon

Gagal Ginjal Akut, Pekerja di-PHK Tanpa Pesangon

PEKANBARU – Ibarat kata pepatah: _seperti buah yang manis diletak di tangan, ketika busuk dibuang begitu saja._ Itulah yang saat ini dialami oleh Marhaban (48), warga Jalan Budidaya Ujung, Perumahan Griya Idaman Blok B07, RT 004, RT 002, Kelurahan Tuah Madani, Kecamatan Tuah Madani, Pekanbaru. 

Nasibnya sungguh miris. Setelah bertugas kurang lebih 14 tahun sebagai karyawan pengawas lapangan di sebuah perusahaan kontruksi, PT Panca Mulia Mixindo Abadi, ia dikenakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tanpa pesangon serupiah pun saat kondisinya sedang jatuh sakit parah. 

Marhaban, memiliki dua anak perempuan yang masih kecil, dan sudah 15 bulan ini tidak dapat bekerja. Dokter menyatakan, kedua ginjalnya sudah tidak berfungsi normal lagi _(Acute Kidney Injury - AKI)._ Karenanya, setiap dua kali seminggu ia harus menjalani cuci darah rutin _(hemodialisis)_ di rumah sakit.

“Saya bekerja di sini sejak masih muda lagi, saat masih mahasiswa, berstatus sebagai pekerja lepas. Hingga kemudian diangkat jadi karyawan,” ujar Marhaban, yang sempat mencicipi kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Lancang Kuning hingga semester VII, Ahad (13/7) kepada media.  

Ia tak menyangka perusahaan akan sekejam itu mengeluarkan surat PHK tanpa pesangon tanggal 23 Juni 2025 lalu. Awalnya, ia sempat menanyakan dengan bersurat ke perusahaan yang ditembuskan ke Disnaker Provinsi Riau c/q Bagian Pengawasan terkait hak normatifnya, berupa gaji yang sudah sejak 2 (dua) bulan tidak dibayarkan lagi. 

Dalam surat PHK tersebut, ia dinyatakan PHK tanpa pesangon, karena alasan telah 5 (lima) kali tidak memenuhi panggilan perusahaan.

Surat panggilan pertama, tanggal 13 Mei 2025, dan surat panggilan kedua, tanggal 16 Mei 2025. Sebelum surat panggilan tersebut keluar, ia pun sudah menyampaikan pemberitahuan dengan menghubungi perusahaan. 

“Saat itu saya di rawat inap secara intensif di rumah sakit. Perusahaan juga sudah diberi tahu,” imbuh pria asal Dusun Harjosari, Desa Lemang, Rangsang Barat, Kabupaten Kepulauan Meranti sambil menunjukkan bekas sayatan sisa operasi di bagian leher, dada atas sebelah kanan, dan lengan tangan kanannya.

Bahkan, menurutnya saat ia dirawat, pihak perusahaan ada mengirimkan perwakilan dari beberapa karyawan untuk menjenguknya. Usai dibolehkan pulang ia langsung memenuhi panggilan perusahaan di kantornya, pada tanggal 22 Mei 2025 di Jalan Soekarno-Hatta, Komplek Waringin Indah Blok A, No. 7, Pekanbaru. Selain itu, untuk menguatkan dan memenuhi keperluan administrasi ia sudah lebih dulu membalas secara surat tertulis pada tanggal 19 Mei 2025. Dalam suratnya ia kembali menerangkan kondisinya saat surat pertama dan kedua diterima, sedang dirawat intensif.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Riau, *Ilham Muhammad Yasir, SH, LL.M* dan Sekretaris LBH ICMI Wilayah Riau, *Joki Mardison, SH, MH* menyayangkan sikap perusahaan terhadap karyawannya ini. Menurutnya, penggunaan mekanisme PHK harus digunakan secara manusiawi. PHK boleh dilakukan, tapi tidak boleh menzalimi pekerjanya. 

“Ini soal perlindungan pekerja yang selalu di posisi yang lemah ketika berhadapan dengan majikan/pengusaha,” ujar Ilham yang juga mantan Ketua KPU Provinsi Riau 2019 – 2024 bersama Joki Mardison saat melihat langsung kondisi Marhaban, Jumat (11/7) pagi lalu.  

Menurut Joki Mardison mendetilkan, ketika perusahaan tidak membayarkan hak normatifnya (upah) selama 2 bulan berturut-turut itu sudah pidana. Apalagi sampai melakukan PHK tanpa pesangon terhadap karyawannya sendiri yang sudah bekerja berpuluh tahun seperti Marhaban ini.

“Lihat Pasal 93 ayat (2) junto Pasal 186 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja itu ada pidananya. Ancamannya bisa maksimal 4 tahun dan juga dibebani membayar denda mencapai Rp400 juta, jika pengusaha tak membayarkan upah atas pekerjanya,” tegas Joki mengingatkan. 

Joki juga memperincikan, karyawan yang sakit berkepanjangan tidak dapat bekerja itu dijamin oleh undang-undang ketenagakerjaan atau Ciptaker. Misalnya, pasal 153 karyawan tetap berhak mendapatkan upahnya dibayarkan secara penuh selama setahun berturut-turut dengan skema mulai 100 persen, 75 persen, 50 persen hingga 25 persen atas upahnya. Jika pun di PHK dalam kondisi sakit, itu harus diperhatikan haknya secara manusiawi. 

“Ia harus diberikan uang pesangon (UP), uang penghargaan masa kerja (UPMK), dan uang penggantian hak (UPH). Itu diatur detil di Pasal 156 UU Ciptaker dan mekanisme PHK-nya diatur dalam PP No. 35 Tahun 2021,” tegas Joki.

Menurut Joki, bahkan menurut Pasal 172 UU Cipataker, pekerja yang sakit berkepanjangan melebihi 12 bulan tidak ada istilah mengundurkan diri secara sukarela. Ketika di PHK, justru pengusaha berkewajiban membayarkan uang pesangon (UPH, uang penghargaan masa kerja (UPMK) itu 2 (dua) kali dari ketentuan, dan uang penggantian hak (UPH) 1 (satu) kali ketentuan dari Pasal 156 UU Ciptaker.

 _Human Resourch Manager (HRM)_ PT Panca Mulia Mixindo Abadi , Rizka Yulia. L saat dikonfirmasi membenarkan jika perusahaan telah mengeluarkan surat PHK atas nama Marhaban. Namun menurut Rizka prosesnya sudah sesuai ketentuan dan prosedur di bidang hukum ketenagakerjaan.

"Kami sudah mengikuti ketentuan. Silahkan kepada yang bersangkutan untuk menempuh proses keberatannya melalui proses yang ada," ujar Rizka saat dikonfirmasi media.

Kepala Disnaker Provinsi Riau, Bobby Rahmat meminta waktu untuk mengeceknya sehubungan surat-surat yang ditembuskan Marhaban ke Disnaker Riau khususnya ke Bidang Pengawasan.

"Saya cek dan minta waktu mempelajari lebih lanjut ya," ungkap Bobby menjawab pertanyaan media.***

Editor : Ank