Mengenang Letusan Gunung Agung 1963 yang Mematikan Ket Foto : Letusan gunung Agung, Bali; 1963. FOTO/AP

Mengenang Letusan Gunung Agung 1963 yang Mematikan

Bali, Homeriau.com -  "Tiba tiba seluruh Bali gelap, saya di Buleleng ikut gelap," kenang I Made Mangku Pastika. Ia merasakan sendiri bagaimana erupsi Gunung Agung yang terjadi pada 1963 membuat gempar Pulau Dewata. Korban-korban berjatuhan, banyak yang tewas, tidak sedikit pula orang yang terluka, juga gelombang pengungsian warga, belum lagi efek yang timbul setelahnya.

Waktu itu, Pastika yang kini menjabat sebagai Gubernur Bali, baru berusia 12 tahun, belum lama lulus sekolah rakyat. Buleleng, kampung halamannya, berjarak sekitar 110 kilometer dari Pura Besakih yang terletak di sekitar puncak Gunung Agung.

Ketua DPRD Bali, Nyoman Adi Wiryatama, juga mengalami hal serupa. Ia berumur 8 tahun saat Gunung Agung meletus pada 1963 itu. “Hari itu menjadi gelap sekali, dan hujan pasir tambah deras. Dibilang dunia mau kiamat, selesailah dunia ini, cerita orang tua,” kisahnya seperti dikutip dari BBC Indonesia (26/9/2017).

Letusan Gunung Agung tahun 1963 memang menggemparkan seisi Pulau Dewata, bahkan meninggalkan dampak paling terasa sepanjang sejarah. Kala itu, aktivitas gunung tertinggi di Bali ini mulai meningkat sejak awal tahun, dan mencapai puncaknya pada 17 Maret 1963.

Tempat Abadi Para Dewa
Bukan tanpa alasan Pura Besakih dibangun di area puncak Gunung Agung. Gunung ini kerap dikait-kaitkan dengan asal-usul orang Bali sekaligus diyakini sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Pura Besakih didirikan sebagai semacam “transit” atau penghubung dengan istana dewa yang dipercaya berada di atas gunung.

Sejarah Gunung Agung dan asal-muasal masyarakat Bali sering dihubungkan dengan gelombang pelarian dari Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Maharishi Markandeya pada abad ke-14 Masehi. Thomas A. Reuter (2005) dalam Custodians of the Sacred Mountains menuliskan, Markandeya membawa sekitar 800 orang pengikutnya ke Bali dan mulai membuka hutan untuk dijadikan permukiman, termasuk di lereng Gunung Agung (hlm. 121).

Namun, lantaran wabah penyakit dan sebab-sebab lainnya, sebagian besar pengikut Markandeya itu tewas. Markandeya terpaksa pulang ke Jawa untuk mengumpulkan orang lagi. Setelah terkumpul sekitar 1.000 orang, eksodus gelombang kedua ke Pulau Dewata digerakkan. Orang-orang inilah yang dikisahkan berhasil mendekati puncak Gunung Agung dan membangun Pura Besakih. Mereka memulai peradaban yang lebih stabil di Bali serta beranak-pinak di pulau ini.

Maka dari itu, orang Bali amat menyucikan Gunung Agung, termasuk melalui berbagai ritual di Pura Besakih sebagai perantaranya. Selayaknya Gunung Merapi yang dianggap sebagai salah satu sumbu paling sakral dalam kosmologi masyarakat Yogyakarta, begitu pula Gunung Agung bagi orang Bali. Setiadi Sopandi (2013) dalam Sejarah Arsitektur: Sebuah Pengantar, misalnya, menyebut Gunung Agung merupakan pusat dari orientasi seluruh desa yang ada di Bali (hlm. 96).

Dituliskan Steve Clement (2014:361) dalam buku Menyusuri Garis Bumi, sebelum Gunung Agung meletus, ketinggiannya diperkirakan mencapai 4.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Catatan terakhir setelah letusan tahun 1963, tinggi Gunung Agung berkurang menjadi 3.142 mdpl.

Meskipun demikian, Gunung Agung masih merupakan gunung paling tinggi di Bali. Buku Cakrawala Indonesia karya Max Mulyadi Supangkat (2002) memaparkan bahwa Bali punya belasan gunung berapi, yang terendah adalah Gunung Kelatakan (710 mdpl) hingga yang tertinggi, yakni Gunung Agung (hlm. 157).

Erupsi yang terjadi pada 1963 merupakan letusan keempat sekaligus terbesar sejak 1880. Tercatat, letusan tahun 1880 itu, terjadi lontaran abu vulkanik dan batu apung dalam jumlah yang sangat besar dari puncak gunung. Sedangkan letusan kedua, yaitu pada 1821, kadarnya tidak sebesar erupsi pertama.

Gunung Agung terbatuk lagi untuk ketiga kalinya pada 1843 yang didahului dengan sejumlah gempa bumi sebelum memuntahkan abu vulkanik, pasir, dan batu apung. Sejak saat itu, Gunung Agung terdiam cukup lama dan tidak menunjukkan tanda-tanda bakal erupsi lagi sehingga dianggap tidak aktif lagi (Elizabeth Reyes, Bali, 1987:19).

Erupsi Berdampak Terbesar
Hingga 120 tahun berselang, Gunung Agung memunculkan tanda-tanda menggeliat kembali. Namun, pengalaman dari cerita-cerita orang-orang tua yang selama ini tidak pernah terganggu dengan aktivitas Gunung Agung membuat masyarakat Bali tenang-tenang pada 1963 itu.

Sebagian warga Bali percaya Gunung Agung tidak akan mencelakai mereka. Terlebih ada Puri Besakih yang menjadi tempat peribadatan untuk menggelar ragam lelaku adat terkait Gunung Agung dan alam sekitarnya. Salah satu ritual tersebut adalah Eka Dasa Rudra, upacara khusus yang dihelat setiap 100 tahun sekali. Dan, siapa yang menyangka, siklus Eka Dasa Rudra bertepatan dengan meletusnya Gunung Agung pada 1963 itu.

Eka Dasa Rudra adalah upacara besar dan istimewa. Masyarakat Bali berbondong-bondong naik gunung menuju Besakih. Tak hanya puluhan atau ratusan, melainkan ribuan umat Hindu dan para pendeta yang tidak ingin melewatkan ritual sekali dalam seabad itu.

Gunung Agung terbatuk-batuk dan kerap melontarkan abu, pasir, juga kerikil. Namun, nyali umat untuk tetap melaksanakan ritual tidak lantas surut. “Upacara berlangsung selama satu bulan dan persiapan dilakukan selama tiga bulan sebelumnya, di tengah letusan dan saat terjadi tanda-tanda akan meletus,” ujar Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet, tokoh adat Bali mengenang masa-masa itu (BBC.com, 26/9/2017).

Dari hari ke hari, Gunung Agung semakin bertambah aktif saja. Pemerintah memberikan peringatan bahwa mulai tanggal 9 Maret 1963, Pura Besakih agar dikosongkan, dan warga yang tinggal di sekitarnya harus segera mengungsi.

Dentuman keras sebenarnya sudah terdengar pada 18 Februari 1963, disertai asap tebal yang keluar dari puncak gunung. Tanggal 24 Februari, lahar mulai mengalir dan berlangsung terus-menerus selama beberapa pekan. Namun, masih ada yang tetap bertahan di Besakih demi merampungkan Upacara Eka Dasa Rudra.

Tanggal 17 Maret 1963, langit Pulau Dewata mendadak gelap, matahari sama sekali tidak tampak di pagi itu. Terdengar suara gemuruh dan menggelegar dari puncak Gunung Agung. Orang-orang mulai panik dan mengungsi. Desas-desus kiamat bakal segera tiba menambah ketegangan saat itu.

Pada hari itu, Gunung Agung menyemburkan abu vulkaniknya ke udara, setinggi hingga 10 kilometer. Inilah puncak erupsi. Lebih dari 1.000 meregang nyawa, belum termasuk yang luka-luka, juga rumah, ternak, serta tanaman yang hangus terbakar.

Erupsi besar berikutnya terjadi pada 16 Mei 1963. Korban jiwa kembali berjatuhan. Riset M.T. Zen dan Djajadi Hadikusumo bertajuk “Preliminary Report on the 1963 Eruption of Mountain Agung in Bali” melaporkan, dua letusan signifikan itu memuntahkan lahar dingin di sepanjang lereng selatan, tenggara, dan utara, serta menghancurkan banyak desa dan bangunan, juga menewaskan ribuan orang (Bulletin Volcanologique, Volume 27, 1964).


Pura Besakih Tak Tersentuh
Zen dan Hadikusumo menyebut total korban tewas berjumlah sekitar 1.700 orang. Namun, data dari Departemen Pekerjaan Umum saat itu mencatat 1.148 orang meninggal dunia, dikutip dari Metrotvnews.com (17/3/2015). Sementara 296 orang lainnya luka-luka dan puluhan ribu warga dievakuasi ke lokasi yang aman.

Pemerintah daerah Bali pun kewalahan. Gubernur Bali periode itu, Anak Agung Bagus Sutedja, pada April 1963, sampai mengatakan, “Kami harus memberi makan 85.000 pengungsi, dan kami semata-mata tak punya makanan untuk itu.” (Windsor P. Booth & Samuel Mathews, “Disaster in Paradise”, dalam National Geographic, September 1963, hlm. 454-455).

Pekan-pekan berikutnya, jumlah pengungsi semakin bertambah. Geoffrey Robinson (2006) dalam Sisi Gelap Pulau Dewata menyebutkan, hingga Oktober 1963 terdapat 98.792 orang pengungsi, 15.595 orang di antaranya menderita kekurangan gizi yang parah. Selain itu, masih ada puluhan ribu orang lainnya yang terjangkit gizi buruk dalam kategori gawat (hlm. 367).

Kerugian juga mencakup lahan pertanian dan perkebunan yang hancur, mencapai 25.000 hektare, sementara 100.000 hektare lahan lainnya tidak akan bisa berproduksi selama bertahun-tahun Itu belum termasuk rumah, bangunan, ternak, dan aset milik warga lainnya yang luluh-lantak akibat erupsi Gunung Agung.

Sementara itu, Pura Besakih justru tetap tegak berdiri tanpa mengalami kerusakan berarti. Orang-orang yang masih bertahan di bangunan suci itu juga selamat. Padahal, jarak antara pusat kawah Gunung Agung dengan Pura Besakih hanya 6,5 kilometer. Apakah ini ada hubungannya dengan hal-hal yang berbau ajaib alias mistis?

Ternyata tidak. Menurut Karna Kusumadinata, vulkanolog yang berada di Bali selama erupsi tahun 1963 itu, Besakih dibangun di lokasi yang paling aman dari letusan lantaran kondisi alam yang justru menjadi benteng pelindungnya. Pura Besakih berada di belakang titik tertinggi Gunung Agung, sementara aktivitas vulkanik terjadi di kaldera yang bersisian dengan puncak (Kompas, 29/12/2011).

Setelah letusan dahsyat tahun 1963 tersebut, Gunung Agung membisu lagi, cukup lama. Baru lebih setengah abad kemudian, tepatnya 54 warsa berselang yakni tahun 2017, gunung yang disakralkan oleh masyarakat Bali ini terbangun dan sempat membikin panik sehingga evakuasi warga pun dilakukan sebagai tindakan antisipasi.

Hingga pekan-pekan awal tahun 2018, status Gunung Agung masih “awas” sebelum diturunkan menjadi. “siaga” sejak 10 Februari lalu. Hari ini, tanggal 17 Maret 2018, tepat 55 warsa terjadinya letusan besar Gunung Agung di tanggal yang sama tahun 1963, dan kebetulannya lagi, bertepatan pula dengan perayaan Nyepi, hari raya umat Hindu-Bali.

Sumber : Tirto.ID

 

Editor :